Senin, 28 Juni 2010

MASALAH DAN KEBUTUHAN KELUARGA DAERAH PERBATASAN

Daerah perbatasan saat ini menjadi issu aktual. Masih segar dalam ingatan, lepasnya Ligitan dan Sipadan dari peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan yang terakhir kasus Ambalat, harus menjadi pelajaran sangat berharga (khususnya) bagi para penyelenggara negara, agar dimasa datang, kasus serupa tidak akan pernah terjadi lagi.

Harus diakui, kasus tersebut terjadi, akibat pengabaian/marginalisasi terhadap daerah perbatasan yang lebih mengedepankan pendekatan keamaan. Oleh karena itu, pendekatan tersebut sudah saatnya digeser ke pendekatan kesejahteraan (pemberdayaan).

Sejumlah permasalahan yang mengemuka di daerah perbatasan antara lain: pergeseran batas negara, minimnya pembangunan infrastruktur, kesenjangan kehidupan dengan negara tetangga, arus informasi dari dalam negeri yang sangat kurang dan lebih deras dari negara tetangga, kemiskinan penduduk, dan lain sebagainya.

Bertolak dari kondisi itu, Departemen Sosial R.I. melalui Puslitbang Kessos, melakukan studi di daerah perbatasan (2006). Tujuannya adalah mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan keluarga di daerah perbatasan. Disamping itu, juga dilakukan eksplorasi terhadap model-model pemberdayaan keluarga yang telah dan sedang diterapkan baik oleh unsur Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, Orsos/LSM, Perguruan Tinggi.Berbagai model yang diperoleh, dimungkinkan menjadi input bagi penyusunan konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan oleh Depsos R.I. yang nantinya diharapkan applicable bagi unit operasional terkait di lingkungan Depsos R.I. dan pihak lain, dimana peningkatan taraf kesejahteraan keluarga khususnya di daerah perbatasan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah ―Pusat, Daerah― dan masyarakat, demi tetap terjaganya rasa nasionalisme dan kokohnya NKRI.

B. HASIL PENELITIAN

1. Permasalahan daerah perbatasan;

a. Minimnya pengawasan dan keamanan disepanjang derah perbatasan, dan minimnya tanda batas antar Negara, potensial bagi terjadinya berbagai tindak kriminal.

b. Kesenjangan kesejahteraan antar warga negara (Indonesia-negara tetangga) menyebabkan banyaknya pelintas batas (ke negara tetangga), khususnya yang berbatasan dengan Malaysia.

c. Kemiskinan penduduk daerah perbatasan, rawan bagi terjadinya illegal logging, trafficking (anak dan perempuan), penyelundupan barang: obat terlarang, senjata, kayu hasil illegal logging, binatang yang dilindungi, orang ―TKI illegal―, dan lainnya).

d. Banyak kasus deportan yang memicu munculnya permasalahan sosial baru di daerah perbatasan, khususnya yang berbatasan dengan Malysia.

e. Belum semua daerah perbatasan mempunyai lembaga khusus yang menangani daerah perbatasan ―selain di Papua―, itupun belum berfungsi secara optimal karena berbagai kendala (internal-eksternal).

f. Keterpencilan dan kurangnya sarana prasarana transportasi, sehingga mereka lebih berorientasi ke negara tetangga, khususnya yang perbatasan dengan Malaysia.

2. Permasalahan keluarga daerah perbatasan

a. Penghasilan keluarga daerah perbatasan yang tidak menentu, karena pada umumnya mereka bekerja pada sektor pertanian dan nelayan yang masih tradisional.

b. Perumahan tidak layak huni

c. SDM rendah

d. Anak putus sekolah dikarenakan ketidak mampuan orangtua

e. Pengangguran (tidak tersedianya lapangan kerja dan modal usaha)

f. Belum tersedianya air bersih, belum terjangkau listrik (penerangan), dan sarana prsarana transportasi yang sangat terbatas

g. Tidak mempunyai peralatan/perabot rumah tangga, contoh: banyak yang tidak mempunyai kasur

h. Keluarga (miskin) daerah perbatasan, pada umumnya belum tersentuh oleh program pemberdayaan, dan sebagian kecil saja dari mereka yang menerima bantuan melalui program raskin dan BLT/SLT yang bersifat karitatif.

3. Kebutuhan keluarga di daerah perbatasan

a. Penciptaan lapangan pekerjaan (khususnya sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan).

b. Perumahan yang layak huni

c. Akses di bidang pendidikan dan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya

d. Modal dan peralatan usaha

e. Bimbingan dan pelatihan teknologi tepat guna

f. Sarana prasarana jalan, transportasi dan pasar

C. Saran

a. Perlunya model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan secara spesifik, agar lebih fokus, mengingat daerah perbatasan mempunyai karaketeristik tersendiri, dengan komponen kegiatan: penyuluhan, bimbingan dan motivasi sosial, pelatihan (teknologi tepat guna), pembentukan KUBE, pendampingan, bantuan permakanan, bantuan perbaikan rumah, UEP, bantuan pengembangan (Askesgakin), dan moneva secara berkelanjutan.

b. Departemen Sosial R.I. melalui unit operasional terkait ―Dit. Pemberdayaan keluarga, Fakir Miskin, KAT, Karang Taruna, penyuluhan sosial, Dit. Pelayan sosial anak, Dit KTKPM, dan Dit. Jamsos― untuk meprioritaskan program masing-masing di daerah perbatasan dan saling bersinergi.

c. Perlu dibentuk (semacam) lembaga yang khusus menangani daerah perbatasan ―pusat maupun daerah― guna mempercepat pembangunan daerah berbatasan, demi tetap kokohnya rasa nasionalisme dan tetap utuhnya NKRI.

d. Perlu disusun rancangan perundang-undangan tentang daerah perbatasan antar negara, sebagai acuan secara nasional dalam upaya mengembangkan daerah perbatasan antar negara tersebut dalam rangka memperkokoh rasa nasionalisme dan tetap utuhnya NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran, demi kemajuan sekolah kami....